Modal
Nikah
Biaya pernikahan ternyata memang tidak sedikit. Temanku
yang baru menikah mengeluarkan biaya delapan puluh juta dan itu pernikahan yang
biasa-biasa saja alias sederhana. benar-benar di luar kendaliku. Kupikir biaya
menikah cukup sepuluh juta, nyatanya kata temanku yang baru menikah itu, biaya
pernikahan delapan puluh juta itu pun masih kurang. Aku tak tahu rinciannya,
yang jelas ini benar-benar membuatku bergetar untuk segera melakasanakan
pernikahan. Andai di tiap tahun pemerintah memberikan modal untuk warganya
menikah tentu sekarang aku mendaptar sebagai calon pengantin. Tapi jika tidak,
apakah aku harus mengumpulkan uang dalam waktu yang tak tahu kapan, atau aku
boleh melakukan hubungan suami istri tanpa menikah? Apakah pemerintah ternyata
telah mengadakan pemodalan untuk menikah?
Bintang-bintang ribuan jumlahnya dan angin pun membuat
dedaun berayun. Wajah perempuan yang paling cantik benderang di bayangku.
Benar-benar dirinya ingin kunikahi. Memang saat ini masih banyak temanku yang membujang,
tapi aku telah menginginkan pernikahan. Aku sudah merasakan hawa tidak enak
jika tidur sendirian. Setiap malam yang kuimpikan adalah pelukan di tengah
badai. Apalagi ditambah dengan ciuman mesra atau susu hangat sebelum bermimpi.
Ternyata terlalu lama membujang tidak menyenangkan.
Apalagi melihat para mantan yang telah memiliki anak. Sepertinya aku benar-
benar membutuhkan teman curhat tiap malam. Ingin rasanya kuceritakan segala
lelah dengan perempuan tercantik. Ingin rasanya aku berselimut di rambutnya nan
wangi. Tapi aku merasa bahwa dalam jangka waktu dekat ini amat mustahil kecuali
pemerintah mengeluarkan maklumat wajib menikah bagi yang berusia dua puluh enam
tahun ke atas dan semua biaya pernikahan di tanggung pemerintah sebesar lima puluh
juta.
Andai pejabat-pejabat pemerintah mau menahan egonya untuk
tidak melakukan korupsi secara terus menerus dan mereka mau berbagi perihal
uang. Andai orang-orang kaya memiliki perasaan seorang darmawan. Tapi sungguh musykil
hal itu dapat terjadi. Dari pada pemerintah pusing-pusing memikirkan modal
untuk memodalkan warganya menikah—bagi mereka lebih baik menghabiskan anggaran
guna kepentingan politik. Pemerintah pasti lebih memilih pemilu daripada
memberikan modal bagi warganya menikah. Ah nasib warga memang tak karuan.
Pemerintah lebih suka melihat warganya susah, sedangkan pejabatnya terlalu
egois. Hubungan rakyat dan pejabat seperti orang pacaran. Ah rakyat dan pejabat
kumpul kebo. Habis dipakai mudah dibuang. Dan rakyatlah yang selalu menjadi
korban. Bahkan warga yang mendukung calon presiden pun tak ada satupun dari mereka
yang mendapat jaminan janji yang betanggung jawab.
Sungguh cantik bunga-bunga di dalam vas. Bulan perlahan
entah ke mana. Aku semakin masuk dalam lamunan. Antara pernikahan dan rakyat
dan pejabatnya. Aku tak bisa ke mana-mana. Aku berada di tengah-tengah rakyat
jelata dan para konglomerat. Dan ternyata konglomerat negeri ini pun sama saja
dengan para pejabatnya. Mereka keluar masuk mobil mewah tapi tidak ada yang
memerhatikan tetangganya atau temannya. Mereka semua terkesan bodoamat walau
mereka sudah memiliki dua anak tetapi temannya menikah pun belum. Tidak ada kah
keinginan untuk menyumbangkan akua dan penghulu dan tenda untuk teman mereka
yang sedang mengalami keinginan tapi belum memiliki uang untuk menebus
keinginan itu?
Barangkali negeri ini sedang mengalami sindrome kepelitan
dan bahayanya mungkin saja sindrome ini bisa abadi. Kalau sindrome ini benar
adanya memiliki keabadian maka aku akan berusaha untuk menjadi konglomerat atau
mengikuti partai politik dengan harapan bisa menjadi pejabat di partai
tersebut. Menjadi warga seperti ini paling-paling aku hanya akan menikmati
pemandangan malam sambil selalu menghayal. Aku mau mendatangi kekasihku lalu
mengajak ke mahligai paling indah. Di sana hanya aku dan dia maka aku ingin
menjadi pejabat. Setelah menjadi pejabat apakah aku akan bertingkah laku sama
dengan pejabat lainnya, yaitu sebodo amat terhadap rakyat yang belum
menikah?—itu tidak perlu terlalu kuperjelas.
Seperti saat ini. Saat-saat setelah pemilu. Hingga detik
ini pun tidak ada yang perduli berapa bujangan yang ada di negeri ini. Semua
sibuk untuk menghancurkan negeri sendiri. Tidak ada satu pun orang yang
menyuarakan keperdulian terhadap pernikahan. Apakah sebenarnya moral negeri ini
hanya sebatas keinginan untuk membela calon presiden? Aku rasa perduli terhadap
cinta jauh lebih penting. Calon presiden sudah kaya raya. Sedangkan rakyat
sepertiku ini. Waduh, kalau tidak ada yang membela dan memperjuangkan. siapa
yang akan perduli? Sungguh disayangkan anggaran besar hanya untuk pemilu dan
perang dan rapat-rapat ngaur. Andai mereka berpikir dan melimpahkan semua
anggaran itu untuk kesejahteraan rakyat. Tapi ketamakan memang sudah menjalar
dan tumbuh di setiap sudut kota, kampung, desa hingga dusun. Bahkan dana
sekolah untuk menggaji guru honor pun ikut-ikutan menjadi sasaran empuk untuk
dikorupsi para pejabat yang telah konglomerat. Gaji-gaji honorer di pelosok
negari rimba nasibnya hamsyong. Bermodal gaji tiga ratus ribu selama sebulan,
bagaimana mereka melangsungkan pernikahan yang bermodal delapan puluh juta?
Sebagai rakyat yang berada di suatu negara yang kaya,
saat ini aku benar-benar bingung untuk melakukan apa. Apakah aku harus
memberontak terhadap kekikukan ini. Yang jelas hidup sebagai rakyat di
tengah-tengah para konglomerat dan pejabat yang tak tahu malu, rasanya
benar-benar menjemukan. Tak tahu lidah ini bagaimana. Rasanya menjejali mulut
orang menggunakan tahi kucing itu adalah kenikmatan tiada tara. Barangkali
itulah rasa kesal semua rakyat yang merasakan hal yang sama sepertiku.
Negeri ini benar-benar butuh sentuhan dari tangan-tangan
yang tak mengenal ketamakan. Perasaan orang-orang yang memimpin dan orang-orang
konglomeratnya musti dicuci. Tidak hanya otak tapi peraasaan pun harus dicuci
agar tidak ada lagi perasaan benci mereka kepada rakyat. Kalau pejabat dan para
konglomerat negeri ini mampu bersatu, pasti sebagai warga aku akan merasa
sejahtera karena merasa ada yang mengayomi. Bukankah hidup memang musti gotong
royong dan saling bahu membahu membangun negeri. Memberi modal kepada warga
sebagai simbol keperdulian aku rasa adalah tindakan nyata menyelematkan negeri
ini dari jurang kepunahan budaya.
Sebuah negeri superior akan menjadi negeri kita pabila
langkah-langkah keperdulian ini dijadikan nyata. Aku rasa para anggota dewan
harus memulai langkah awal agar para rakyat yang konglomerat mau untuk
mengikuti walau perlahan-lahan. Lingkungan sosial dan budaya kita yaitu menikah
tidak boleh sampe punah. Bukankah lebih asyik jika muncul budaya baru di negeri
ini, yaitu budaya keperdulian? Bukankah itu suatu kebaikan yang wajar? Kalau
iya mengapa kita masih diam dan terus-terusan menonton berita dalam televisi?
Melangkah sedikit demi sedikit adalah hal yang lebih baik dalam mengarungi
kehidupan, apalagi waktu memiliki langkah yang tak mungkin bisa manusia untuk
menalaah itu semua.
Aku benar-benar tak sabar menunggu hal ini dapat memujud
di negeri tercinta ini. membayangkan suatu wilayah menjadi perhatian besar bagi
dunia internasional, yang mana budaya kita pasti akan dijadikan pembelajaran
bagi mereka. Kemudian ramai-ramai mereka mengucapkan kata terimakasih dari
perasaan paling dalam. Aku tak sabar menunggu hal itu menjadi nyata di negeri
tercinta ini. Sudah lama puja-puji tak menjadi apapun di sini.
2019
Komentar
Posting Komentar