Langsung ke konten utama

Prosa Muhammad Alfariezie - Modal NIkah





Modal Nikah

Biaya pernikahan ternyata memang tidak sedikit. Temanku yang baru menikah mengeluarkan biaya delapan puluh juta dan itu pernikahan yang biasa-biasa saja alias sederhana. benar-benar di luar kendaliku. Kupikir biaya menikah cukup sepuluh juta, nyatanya kata temanku yang baru menikah itu, biaya pernikahan delapan puluh juta itu pun masih kurang. Aku tak tahu rinciannya, yang jelas ini benar-benar membuatku bergetar untuk segera melakasanakan pernikahan. Andai di tiap tahun pemerintah memberikan modal untuk warganya menikah tentu sekarang aku mendaptar sebagai calon pengantin. Tapi jika tidak, apakah aku harus mengumpulkan uang dalam waktu yang tak tahu kapan, atau aku boleh melakukan hubungan suami istri tanpa menikah? Apakah pemerintah ternyata telah mengadakan pemodalan untuk menikah?

Bintang-bintang ribuan jumlahnya dan angin pun membuat dedaun berayun. Wajah perempuan yang paling cantik benderang di bayangku. Benar-benar dirinya ingin kunikahi. Memang saat ini masih banyak temanku yang membujang, tapi aku telah menginginkan pernikahan. Aku sudah merasakan hawa tidak enak jika tidur sendirian. Setiap malam yang kuimpikan adalah pelukan di tengah badai. Apalagi ditambah dengan ciuman mesra atau susu hangat sebelum bermimpi.

Ternyata terlalu lama membujang tidak menyenangkan. Apalagi melihat para mantan yang telah memiliki anak. Sepertinya aku benar- benar membutuhkan teman curhat tiap malam. Ingin rasanya kuceritakan segala lelah dengan perempuan tercantik. Ingin rasanya aku berselimut di rambutnya nan wangi. Tapi aku merasa bahwa dalam jangka waktu dekat ini amat mustahil kecuali pemerintah mengeluarkan maklumat wajib menikah bagi yang berusia dua puluh enam tahun ke atas dan semua biaya pernikahan di tanggung pemerintah sebesar lima puluh juta.

Andai pejabat-pejabat pemerintah mau menahan egonya untuk tidak melakukan korupsi secara terus menerus dan mereka mau berbagi perihal uang. Andai orang-orang kaya memiliki perasaan seorang darmawan. Tapi sungguh musykil hal itu dapat terjadi. Dari pada pemerintah pusing-pusing memikirkan modal untuk memodalkan warganya menikah—bagi mereka lebih baik menghabiskan anggaran guna kepentingan politik. Pemerintah pasti lebih memilih pemilu daripada memberikan modal bagi warganya menikah. Ah nasib warga memang tak karuan. Pemerintah lebih suka melihat warganya susah, sedangkan pejabatnya terlalu egois. Hubungan rakyat dan pejabat seperti orang pacaran. Ah rakyat dan pejabat kumpul kebo. Habis dipakai mudah dibuang. Dan rakyatlah yang selalu menjadi korban. Bahkan warga yang mendukung calon presiden pun tak ada satupun dari mereka yang mendapat jaminan janji yang betanggung jawab.

Sungguh cantik bunga-bunga di dalam vas. Bulan perlahan entah ke mana. Aku semakin masuk dalam lamunan. Antara pernikahan dan rakyat dan pejabatnya. Aku tak bisa ke mana-mana. Aku berada di tengah-tengah rakyat jelata dan para konglomerat. Dan ternyata konglomerat negeri ini pun sama saja dengan para pejabatnya. Mereka keluar masuk mobil mewah tapi tidak ada yang memerhatikan tetangganya atau temannya. Mereka semua terkesan bodoamat walau mereka sudah memiliki dua anak tetapi temannya menikah pun belum. Tidak ada kah keinginan untuk menyumbangkan akua dan penghulu dan tenda untuk teman mereka yang sedang mengalami keinginan tapi belum memiliki uang untuk menebus keinginan itu?

Barangkali negeri ini sedang mengalami sindrome kepelitan dan bahayanya mungkin saja sindrome ini bisa abadi. Kalau sindrome ini benar adanya memiliki keabadian maka aku akan berusaha untuk menjadi konglomerat atau mengikuti partai politik dengan harapan bisa menjadi pejabat di partai tersebut. Menjadi warga seperti ini paling-paling aku hanya akan menikmati pemandangan malam sambil selalu menghayal. Aku mau mendatangi kekasihku lalu mengajak ke mahligai paling indah. Di sana hanya aku dan dia maka aku ingin menjadi pejabat. Setelah menjadi pejabat apakah aku akan bertingkah laku sama dengan pejabat lainnya, yaitu sebodo amat terhadap rakyat yang belum menikah?—itu tidak perlu terlalu kuperjelas.

Seperti saat ini. Saat-saat setelah pemilu. Hingga detik ini pun tidak ada yang perduli berapa bujangan yang ada di negeri ini. Semua sibuk untuk menghancurkan negeri sendiri. Tidak ada satu pun orang yang menyuarakan keperdulian terhadap pernikahan. Apakah sebenarnya moral negeri ini hanya sebatas keinginan untuk membela calon presiden? Aku rasa perduli terhadap cinta jauh lebih penting. Calon presiden sudah kaya raya. Sedangkan rakyat sepertiku ini. Waduh, kalau tidak ada yang membela dan memperjuangkan. siapa yang akan perduli? Sungguh disayangkan anggaran besar hanya untuk pemilu dan perang dan rapat-rapat ngaur. Andai mereka berpikir dan melimpahkan semua anggaran itu untuk kesejahteraan rakyat. Tapi ketamakan memang sudah menjalar dan tumbuh di setiap sudut kota, kampung, desa hingga dusun. Bahkan dana sekolah untuk menggaji guru honor pun ikut-ikutan menjadi sasaran empuk untuk dikorupsi para pejabat yang telah konglomerat. Gaji-gaji honorer di pelosok negari rimba nasibnya hamsyong. Bermodal gaji tiga ratus ribu selama sebulan, bagaimana mereka melangsungkan pernikahan yang bermodal delapan puluh juta?

Sebagai rakyat yang berada di suatu negara yang kaya, saat ini aku benar-benar bingung untuk melakukan apa. Apakah aku harus memberontak terhadap kekikukan ini. Yang jelas hidup sebagai rakyat di tengah-tengah para konglomerat dan pejabat yang tak tahu malu, rasanya benar-benar menjemukan. Tak tahu lidah ini bagaimana. Rasanya menjejali mulut orang menggunakan tahi kucing itu adalah kenikmatan tiada tara. Barangkali itulah rasa kesal semua rakyat yang merasakan hal yang sama sepertiku.

Negeri ini benar-benar butuh sentuhan dari tangan-tangan yang tak mengenal ketamakan. Perasaan orang-orang yang memimpin dan orang-orang konglomeratnya musti dicuci. Tidak hanya otak tapi peraasaan pun harus dicuci agar tidak ada lagi perasaan benci mereka kepada rakyat. Kalau pejabat dan para konglomerat negeri ini mampu bersatu, pasti sebagai warga aku akan merasa sejahtera karena merasa ada yang mengayomi. Bukankah hidup memang musti gotong royong dan saling bahu membahu membangun negeri. Memberi modal kepada warga sebagai simbol keperdulian aku rasa adalah tindakan nyata menyelematkan negeri ini dari jurang kepunahan budaya.

Sebuah negeri superior akan menjadi negeri kita pabila langkah-langkah keperdulian ini dijadikan nyata. Aku rasa para anggota dewan harus memulai langkah awal agar para rakyat yang konglomerat mau untuk mengikuti walau perlahan-lahan. Lingkungan sosial dan budaya kita yaitu menikah tidak boleh sampe punah. Bukankah lebih asyik jika muncul budaya baru di negeri ini, yaitu budaya keperdulian? Bukankah itu suatu kebaikan yang wajar? Kalau iya mengapa kita masih diam dan terus-terusan menonton berita dalam televisi? Melangkah sedikit demi sedikit adalah hal yang lebih baik dalam mengarungi kehidupan, apalagi waktu memiliki langkah yang tak mungkin bisa manusia untuk menalaah itu semua.

Aku benar-benar tak sabar menunggu hal ini dapat memujud di negeri tercinta ini. membayangkan suatu wilayah menjadi perhatian besar bagi dunia internasional, yang mana budaya kita pasti akan dijadikan pembelajaran bagi mereka. Kemudian ramai-ramai mereka mengucapkan kata terimakasih dari perasaan paling dalam. Aku tak sabar menunggu hal itu menjadi nyata di negeri tercinta ini. Sudah lama puja-puji tak menjadi apapun di sini.


2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dampak Keluarga Besar Flu

Dampak Keluarga Besar Flu Hari ini di kota kita tercinta yang bernama bandar lampung— masih saja dihantui wabah virus yang berasal dari kota wuhan, hubei, tiongkok. Kelompok virus ini dapat menyebabkan penyakit pada burung dan mamalia termasuk manusia. Jika kalian belum mengenal ciri-cirinya— ada beberapa perbedaan pada hewan dan manusia. Contoh pada sapi dan babi ialah menyebabkan diara sedangkan pada unggas yaitu infeksi saluran pernapasan atas. Sedangkan pada manusia yakni berpotensi mengganggu sistem pernapasan sehingga timbul gejala pilek, batuk, demam, hingga kematian.   Tapi tahukah kalian minak muakhi seunyinni— Coronaviridae dan ordo Nidovirales ini telah memberi dampak negatif yang luar biasa. Hal ini dikarenakan tidak sekedar kesehatan tapi juga ekonomi.   Mulai dari pedagang makanan, pekerja seni hingga penyedia jasa pun merakan betul bagaimana magis nafas buruk dari kehadirannya. Lantas— Bagaimanakah kesaksian dari salah satu korban dari keganasan serangan

Puisi Muhammad Alfariezie

Kabar Buruk Angin Tenggara Jernih air sungai mengalir bagai ayun hijau muda dedaun, Seperti pucuk embun merah kekuning-kuningan Ikan-ikan riang berenang, buah-buah tumbuh di sisi-- sementara udin Ribuan duri menusuk-menusuk ususnya Sejak kolonial memerintah, hingga revolusi sampai reformasi, lalu Di era seribu lima ratus enam puluh sarjana hadir tiap tahun Tekhnologi serupa kaligrafi di marmer tuan li jai, dan Politik bagai batu kali sebagai roda penggerak kendaraan 2020

Puisi Muhammad Alfariezie

Bersamamu Seperti metafor yang membuat puisi senantiasa bagaikan dewa, kekasihku Ketika kau tulis rindu di dasar perasaanku             Burung-burung merdu bersahutan,              Dedaun berayun, dan embun              Merah kekuning-kuningan bagai nurani bayi berselimut mega, juitaku Jika kuhitung, maka Temanku lebih dari lima ribu enam ratus tujuh puluh sembilan, tapi Jika di antara mereka, sungguh aku Tidak seramai dan sebahagia ketika berdua denganmu 2020