1
Tantangan terberat Benaul dalam menjalani hidup seperti
para nabi adalah musik karena hampir setiap hari sejak lulus sekolah menengah
pertama, telah ia kuasai jenis-jenis musik dari yang normal hingga
nyeleneh—dalam maupun luar negeri. Saat ini di Bandarlampung, Benaul bukanlah
orang yang biasa-biasa saja. Ia termasuk dalam anggota Teater yang memiliki
bobot tinggi. Ia kritikus sastra yang telah banyak menghasilkan uang dari
kerjaannya itu.
Musik menurutnya lebih dari jiwa hingga setiap ada konser
yang ecek-ecek maupun artis Jakarta ia selalu datang walau musti lompat pagar.
Satu waktu pernah ada konser band Jamrud dan Ada Band tapi ayahnya yang ingin
pergi ke Lampung Barat memintanya untuk ikut serta. Hari itu sebelum hari esok,
ia merenung alias bertanya-tanya dalam hati. di saat bimbang itulah ia menemui
nasihat tepat dari Abdurahman, temannya sejak sekolah menengah pertama hingga
kini.
“Kau harus ikut ayahmu. Lihatlah usiamu dan bandingkan
dengan usiamu dan lihat betapa segar bugar wajahmu, wajar jika ayahmu inginkan
kau menjaganya,” Kata Abdurahman.
“Tidak, Jamrud adalah My
Heart dan ada band—aku belum pernah menyaksikan ada band secara langsung,
apalagi lagu-lagunya banyak memengaruhiku dalam karya tulis,” Kata Benaul.
“Tapi ayahmu?” Tak ada jawaban dari Benaul, ia justru
menghidupkan rokok dan memandang arakan awan. Ia hembuskan asap rokok itu
hingga Abdurahman izin pulang karena tak tahan melihatnya yang seperti orang
tak berakal budi itu.
“Benaul, Benaul, masih saja kau penuh kebimbangan padahal
tahu ayahnya memang sangat membutuhkan ia untuk sekedar menemani ngobrol di
dalam mobil atau jika ada kerusakan mesin pada mobilnya, paling tidak ia bisa
membantu,” Sungut Abdurahman sembari membuka pintu kamar. Sembari membuka
catatan harian ia menyalakan rokok dan menutup kembali buku catatan hariannya
karena tak kerasan terbayang wajah Benaul. Ke hadapan cermin ia berkata, apakah
harus aku yang menemani ayahnya tapi kenapa? Mustahil juga ayahnya mau dan lagi
pula pasti takan enak mengobrol karena aku pasti ditanya-tanya terus tentang
Benaul.
Benaul datang tak lama setelah Abdurahman menyelesaikan
sungutnya. “Hey Man, baiklah aku akan menjaga ayahku. Jamrud dan Ada band
bukanlah mereka yang membesarkan kusaat ini, lagi pula rasanya aku mendapat
ilham. Tubuhku tak lagi lunglai,” Kata Benaul.
Abdurahman makin menikmati rokok. Benaul menyalakan radio
dari Telpon genggamnya. Sekejap saat suara curhatan di radio terdengar mereka
terbahak-bahak, tertawa bagaikan menonton komedi kartun Tom & Jerry.
“Aku beli kacang dulu” Kata Benaul meminta izin kepada
Abdurahman.
“Baiklah, ” Kata Abdurahman.
Abdurahman mendengarkan curhatan di radio itu, hanyut.
Abdurahman hanyut dalam alunan hati. ia pun merindu. Merindukan suka cita.
Sejak sekolah menengah pertama Abdurahman tinggal bersama kakek dan neneknya.
Ia musti meninggalkan desa yang sebagaian penduduknya bermata pencaharian
petani. Abdurahman meninggalkan kabupaten yang terkenal dengan keramah
tamahannya itu. abdurahman meninggalkan gunung yang banyak dari pendaki gunung
di Lampung selalu bermimpi untuk sekedar tidur di tanah yang terilhami itu.
Abdurahman merebahkan tubuh, memnbayangkan perempuan
cantik yang pernah dikencaninya. Saat memeberi nasihat pada bunga desanya, saat
bunga desanya memberi semangat ketika ujian, saat-saat indah itu ia kenang hari
ini, di terik siang dan saat kesepian. Abdurahman masih belum sirna dari
perasaan. Kian ia mendengarkan, wajah cantiknya itu bagaikan angin yang selalu
membuai dan memberi nafas pada Abdurahman.
Benaul datang dan melempar kacang serta menaruh teh gelas
dan ikut merebahkan tubuh. Mereka saling menukar pendapat dan entah mengapa
serta darimana mulanya secara tak terduka yang mereka bahas tiba-tiba negara.
“Negara kita ini jika kau jadi Presiden akan kau apakan?”
Sergap Benaul
“Yang pasti segala
visi misiku akan bertanggung jawab kepada Allah Swt yang telah dijelaskan oleh
Rasulullah Saw,” Tegas Abdurahman
Abdurahman mengambil celana panjang jeans di balik pintu
lalu setelah selesai dipakai langsung menuju garasi kemudian entah ke mana,
sementara itu Benaul yang telah lelap tidur tak berselimut di hembus angin
sepoi-sepoi. Ulat dari pohon perlahan-lahan melewati teralis jendela. Bibir
gelas berhasil terkecup dan satu ulat nyemplung ke dalam gelas. Benaul
terkejut. Menjerit. Sejadi-jadinya beliau menjerit hingga
Sumarnio,bapaknya mendobrak. Dum, Benaul
pingsan kejedot pintu.
Sumarnio bergegas membopongnya ke klinik yang sejak
setahun lalu bermukin di ujung desa. Benaul pernah sekali mengantarkan
Abdurahman ke klinik Porstet itu, klinik yang dimiliki anak dari kepala
pemerintah di sana. Perempuan cantik, semampai dan berkulit putih serta
berambut aduhai. Benaul telah membuatnya mencintainya, perempuan itu ternyata
cinta terhadap Benaul.
Marianova, nama perempuan itu. Ia sendiri yang mengobati.
Terbangun. Benaul terbangun dan lalu tersenyum karena melihat perempuan yang
ternyata juga ia cintai, Ia hayalkan sebelum tidur, perempuan yang ada pada doa
di khusuknya. Pucuk di cinta bulan pun tiba, Benaul menyatakan cinta dan Marianova
takhluk.
Abdurahman yang masih sendiri setelah lima tahun
pernikahan Benaul dan Marianova,
memutuskan untuk pergi ke Ibu kota, katanya ingin mencari teman baru
karena tak sanggup menikmati sepi pedesaan. Hatinya barangkali telah
porakporanda karena pepohonan yang rindang telah ditebang. Sebelum pergi, subuh
itu ia menulis surat untuk Benaul.
Berjalan ia melewati pematang sawah warisan bapaknya,
berjalan ia memandang sejuta kenangan yang tentu akan menjadi bianglala di benaknya.
Sampai Di rumah Benaul ia hanya menyelipkan surat di bawah pintu. Memang
terdengar janggal, karena saat ini telah banyak benda komunikasi yang lebih
praktis.
Sepanjang jalan di dalam Bus ia rekam segala macam
tanaman dan warna. Jauh, perjalanan jauh dan akan tiba di tempat yang hiruk
pikuk tentu hal yang tak mudah bagi pemuda desa yang keahliannya hanya bertani,
bersawah dan mencari ikan di sungai. Mungkinkah begitu sepi hatinya di desa
saat sahabat satu-satunya telah menemukan suatu keajaiban yang diciptaka Allah
Swt? Tentu demikian tersayat hatinya karena saat ingin bercerita tapi hanya
kertas dan pena, ah Abdurahman tak pernah mengingat bahwa ada malaikat Allah di
samping kanannya.
Remang-remang Benaul menerawang maksud hati Abdurahman.
Perlahan ia baca dan akhirnya setelah tiga kali membaca tafsir sesungguhnya ia
dapatkan. Abdurahman yang tak kerasan tinggal dengan kakek & neneknya itu
ternyata sangat merindukan rumah dan pula tak kerasan karena setiap hari harus
menahan cubit dan sungut dari neneknya. Benaul menangis dan lalu mendekat dan
memandangi marianova yang terlihat cantik jika sedang lelap menikmati riskinya
Allah. Derit jendela terdengar dan Marianova terbangun.
“Kau mau kopi, ganteng?”
“Mengapa kau terbangun, sayang?”
“Tiba-tiba rindu ingin berbicara dari hati ke hati
denganmu.”
Marianova yang tentu takan membiarkan orang kesayangannya
itu menggigil bergegas ia ke dapur untuk merebus air. Kapucino saset yang
selalu mereka stok itu ia seduh dua gelas. Suara air panas dan uap, oh sungguh
dini hari mereka bagaikan penuh hikmah dari Allah Swt. Remang-remang cahaya
dari purnama—mereka bahas malam dan Abdurahman. Cinta telah mengembangkan kasih
sayang dan mereka yang saat ini masih berdua di rumah itu, berdiskusi di tepi
kolam renang sambil memandang ikan-ikan dan mendengar gemericik kolam serta
kungkung (Suara) katak.
Lampu taman di belakang rumah mereka, ah betapa indah
rumah yang mereka rawat dengan kesungguhan hati. satu tegukan, dua tegukan
hingga tegukan ke tiga nampak wajah berseri-seri dari sepasang pemuda yang
saling mencinta itu, sementara itu Abdurahman yang telah sampai di desa harus
rela hanya memakan singkong goreng sisa tadi siang karena orang tua mereka
sedang dilanda panen yang paceklik. Sungguh, musim yang kurang baik bagi
Abdurahman.
Adzan subuh terdengar dan marianova tak kuasa menahan
hasrat untuk bersujud. Benaul paham benar jika marianova telah berbisik alhamdulillah, maka Benaul langsung
mengajaknya mandi dan lekas berwudhu.
Benaul berangkat ke mushala sementara Marianova selesai
shalat langsung memasak. Nasi goreng spesial setiap pagi memang menu favorit
mereka, sebelum pergi menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Marianova meski
seorang dokter dan pemilik klinik tetap tak ingin untuk tak mengabdi kepada
suami tercinta apalagi tahu bahwa itu adalah dasar dalam mengarungi berahtera
rumah tangga.
“Assalammualaikum
warahmatullahi wabarakatuh,” Benaul memberi salam pada majelis dan segera
bergegas pulang karena setelah shalat ia pun sadar bahwa hari ini ada pekerjaan
yang musti—siang nanti sudah selesai.
“Assalammualikum
Warakhmatullahi Wabarakatuh. Sayangku yang cantik?”
“Waalaikum salam,
cintaku,” Jawab Marianova.
Selesai mengganti pakaian, Benaul langsung menuju meja
makan. Makanan telah tersedia. Marianova menyiapkan nasi dan lauk pauk untuk
suami tercinta.
“Mas, pagi ini khusus kurebuskan telur dan kugorengkan
tempe serta tahu.”
“Wow, ini makanan empat sehat lima sempurna.”
“Tak hanya itu, dini hari tadi kau telah meminum kopi
maka pagi ini wajib kau habiskan susu sapi murni.”
“ya.ya baiklah.”
Menunggu jarum pendek ke angka tujuh dalam jam, Benaul
membaca al quran sedangkan Marianova merapihkan rumah. Mereka tak menyewa
pembantu sebab telah berjanji akan menyewa pembantu jika memang pekerjaan rumah
tak bisa lagi dikontrol. Lagipula, menyewa pembantu butuh ketelitian karena
salah-salah akan menjadi boomerang bagi penyewa, Kata Marianova waktu itu
kepada Benaul.
Jam tujuh telah tiba dan mereka berangkat kerja
menggunakan sedan silver. Mobil ini mereka beli hasil patungan. Sejak setahun
sebelum menikah mereka memang sudah menabung bersama dan kini mereka menikmati
hasil tabungan bersama tersebut. Sementara itu, pagi di pedasaan, para petani
hilir mudik di hadapan Abdurahman yang merasa kian tak berdaya karena ia
berprasangka bahwa kenyataan telah bersekongkol, katanya dalam hati.
“Pak, aku ikut ke ladang,” Kata Abdurahman.
“wes, koe nengkene wae, merawat kambing dan tanaman
rampai serta cabai. Urusan ladang biar bapak wae.”
“Yowes.”
“bagaimana kakek dan nenekmu?” tanya bapaknya.
“Yo apik.”
Nampak rawut wajah curiga bapaknya tapi Benaul tak
membiarkan bapaknya menerka lebih jauh, ia langsung masuk dengan beralasan
ingin mandi. Di kamar mandi ia terbayang kakek dan neneknya. “apakah mereka
merindukanku?” tanya hati Abdurahman.
Abdurahman yang kembali ke desa menyimpan misi untuk
lekas menikah itu ternyata tambahlah sakit hati beliau karena tahu setelah
mendengar cerita dari Orhan bahwa pujaan desa yang selalu membiausnya di kala
dini hari itu ternyata telah menjadi janda beranak empat.
Tak perduli aku wis terlanjur jatuh. Aku akan menikahinya
walau berbekal tiga kambing dan rampai serta cabai hartaku.”
Lekas Orhan memotong pembicaraan, tapi kan kau baru dua
hari di sini, lagi pula itu harta hidup milik orang tuamu.
“tetap saja itu akan jadi miliku karena aku adalah anak
semata wayang mereka.”
“Coba kau pikirkan lagi, karena ini hanyalah tipu
muslihat setan.”
“tidak, ia adalah perempuan yang pantas untuk kujadikan
ratu.”
“kau salah, kawan. Kau baru dua hari di sini.”
Orhan kalah argumen dengan Abdurahman. Abdurahman nekad
dan saat itu juga walau kopinya masih hangat, ia meninggalkan Orhan. Orhan yang
sendiri hanya geleng-geleng kepala dan dalam hatinya mengucap, Lindungilah
sahabatku ya Allah.
“Assalamualaikum. Asslammualaikum. Assalamualaikum.” Tiga
kali tidak ada jawaban, Abdurahman menyelonong ke rumah Bi, Romlasun, orang tua
dari Bisri, perempuan pujaan yang sangat diinginkan Abdurahman walau Bisri
sendiri telah beranak empat dan menyandang status sebagai janda.
Tetangga-tetangga bi Romlisun belum tahu siapa
Abdurahman, pemuda yang hati tengah buta karena cinta terhadap manusia. Seorang
petani yang baru pulang dari ladang memergoki gerakgerik Abdurahman yang
bagaikan di bawah kendali hawa nafsu.
“Woy, koe arep maling!”
“apa urusanmu,” kata Abdurahman.
“sambil menggelengkan kepala petani berkata, koe arep
kutebas, yo?”
“Kau yang akan aku tebas.”
Perkelahian tak bisa dihindarkan dan Abdurahman yang
masih bau kencur tergeletak. Ayah dan ibunya menangis tersedu-sedu. Tapi tidak,
perempuan y ang ia puja-puja justru
setelah kepergiannya menikah dengan petani itu, petani yang mengalahkan
Abdurahman. Bisri menjadi istri kedua petani yang bernama Warsiting itu.
Komentar
Posting Komentar