Langsung ke konten utama

bab vii

BAB VII
08-12-2017

Ini revolusi seperti rokok yang aku hisap. Rasanya keheningan menembus paru-paru seperti embun yang merayapi tanah. Dapatkah waktu menjawab keresahan-keresahan disetiap rindu yang membawa seluruh omat ke alam bawah sadarnya?

Segala yang aku impikan mungkin mampu dijawab oleh paru-paruku yang semakin mengering. Segala jawaban atas keadilan yang banyak dipertanyakan ini mungkin tubuhku yang diempas angin utara mampu memberi alasan kepada mereka.

Hei, Kanselir. Sudah waktunya tidur. Mengapa kau keluar tanpa jaket, dan hanya berteman asap kretek asal negaramu? Kau sudah seharusnya berhenti merokok dan tidak tidur larut malam. Kasihan tubuhmu, jangan biarkan embun menggerayangi kesehatanmu.

Sultan… setiap individu yang memberi jasmaninya kepada alam, mungkinkah alam akan menyisaksa individu itu? entah mengapa senang sekali rasanya membiarkan tubuh ini terserap embun dipucuk-pucuk daun yang gugur. Bahkan, aku tidak ingin tidur bila sudah jam segini, saat di istanaku, aku tdak pernah tidur sebelum adzan subuh.

Berarti ketika adzan datang kau langsung tidur? Hahahah itu nanti akan aku jawab dihadapan Allah.

Sultan, apa yang kau lakukan ketika kau sedang mendapatkan angin kencang di kepalamu?
Aku selalu mengabaikannya aku tidak pernah perduli terhadap badai apapun yang menempati pikiranku. Aku bicarakan itu pada kekasihku.

Hei, Kanselir. Berhentilah kau merokok. Apa kau tidak kasihan pada rakyat yang mencintaimu dan menginginkan kesehatanmu?

Mungkin rakyatku terlalu sibuk memikirkan kendaraan mewah yang setiap tahunnya harus mereka milikki, jadi mereka tidak pernah mau tahu tentang bagaimana setiap malam aku memikirkan semua hal yang menjadi mimpi mereka.

Mengenai kejayaan suatu negara, apa yang kau rasakan ketika kau memimpin sebuah warisan yang kaya dan maju ini?

Kanselir, negeriku ini memiliki konstitusi dan ideologi. Aku hanya menjalankan kaki dan meneteskan keringat di atas kertas yang bertuliskan tentang aturan untuk memimpin sebuah negara. Tentu aku menjalankan semua itu berdasarkan ideologi negaraku.

Jika terus berpetualang dalam sebuah konstitusi yang ada maka tidak akan ada perubahan yang dapat kau beri pada suatu wilayah yang kau duduki. Berarti kau tidak pantas menjadi seorang sultan. Kau bukan saja tidak memiliki pemikiran tapi kau menghabiskan dana kampenye hanya untuk bersantai di atas konstitusi.

Sultan, lalu untuk apa aku diberi kepala jika  negaraku tidak mendapat perubahan yang mungkin bisa lebih menyejahterakan negaraku. Negaraku seperti bumi. Di sana terdapat serangga, reptil, mamalia. Ada laut, darat dan gunung berapi. Ini jelas  harus memiliki sebuah konstitusinya sendiri. Tidak bisa aku menyetarakan mereka dalam satu kosntitusi yang, jika itu terus dibiarkan, sama saja aku membelunggu mereka.

Sebelum kita merdeka, kita pernah sama-sama merasakan pahitnuya penjajahan. Kita menjadi orang asing di pulau  ayah kita. Kita menjadi asing karena kita tidak menyetujui konstitusi itu karena itu aku tidak ingin rakyatku merasakan dinginnya tidur beralas tanah beratap jerami, itu getir, Sultan.

Lalu, kau ingin apa Kanselir. Apa kau perlu bantuanku demi pemikiranmu? Kau hanya kanselir, dan kau  sulit merubah sebuah kosntitusi. Bahkan, perdana menterimu saja belum tentu bisa mendobrak parlemen untuk merubah konstitusi yang ada.

Itu lah yang sedang aku pikirkan, apakah aku harus membubarkan Parlemen demi sebuah pembaharuan? Ataukah aku biarkan mereka-mereka yang menjadi penghalang datangnya matahari pagi?

Kau harus banyak mengunjungi negeri-negeri yang jauh, bahkan negeri-negeri yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan untuk kau kunjungi. Ada baiknya juga kau menyendiri di Athena. Athena memiliki penghuni-penghuni yang ahli akan kitab dan di sana tempat peradaban modern diciptakan.

Asia… khususnya asia tenggara tidak bisa kau jadikan referensi demi sebuah  revolusi. Negaraku ini menjadi sebuah negara karena bantuan dari orang-orang radikal sepertimu. Kami banyak belajar dengan negaramu tentang bagaimana memperlakukan kolonialisme. Aku tidak bisa memberi masukkan mengenai pemikiranmu, pesanku kau harus menyendiri ke Athena.

Aku telah banyak membaca mengenai filsafat-filsafat mistis mereka dan kubandingkan dengan filsafat jawa yang dibawa oleh wali songo.  Aku lebih mengagumi filsafat jawa yang jauh dari kekerasan.

Kau benar-benar pemikir berat, Kanselir. Bahkan kau menolak untuk ke Athena. Kau melambangkan kekuatan suatu negara, tapi mengapa kau masih bingung mengenai revolusi?

Mengenai hal ini aku lebih suka membicarakannya pada diriku sendiri sewaktu aku ingin tidur. Esok perdana menteriku kembali tapi aku masih ingin mempelajari kehidupan di sini, izinkan aku menetap satu hari lagi di negaramu.

Bukankah wilayahmu memiliki segalanya dari negaraku?

Ya, benar tapi itu dulu sebelum aku menjadi seorang Kanselir.

Baiklah, Kanselir. Mataku tidak kuat memandang asap yang kau keluarkan dari hidung dan mulutmu. Ini sudah melewati waktu istirahatkku, dan kau aku izinkan menetap sampai kau bosan merokok di negaraku.

Assalamualaikum…


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dampak Keluarga Besar Flu

Dampak Keluarga Besar Flu Hari ini di kota kita tercinta yang bernama bandar lampung— masih saja dihantui wabah virus yang berasal dari kota wuhan, hubei, tiongkok. Kelompok virus ini dapat menyebabkan penyakit pada burung dan mamalia termasuk manusia. Jika kalian belum mengenal ciri-cirinya— ada beberapa perbedaan pada hewan dan manusia. Contoh pada sapi dan babi ialah menyebabkan diara sedangkan pada unggas yaitu infeksi saluran pernapasan atas. Sedangkan pada manusia yakni berpotensi mengganggu sistem pernapasan sehingga timbul gejala pilek, batuk, demam, hingga kematian.   Tapi tahukah kalian minak muakhi seunyinni— Coronaviridae dan ordo Nidovirales ini telah memberi dampak negatif yang luar biasa. Hal ini dikarenakan tidak sekedar kesehatan tapi juga ekonomi.   Mulai dari pedagang makanan, pekerja seni hingga penyedia jasa pun merakan betul bagaimana magis nafas buruk dari kehadirannya. Lantas— Bagaimanakah kesaksian dari salah satu korban dari keganasan serangan

Puisi Muhammad Alfariezie

Kabar Buruk Angin Tenggara Jernih air sungai mengalir bagai ayun hijau muda dedaun, Seperti pucuk embun merah kekuning-kuningan Ikan-ikan riang berenang, buah-buah tumbuh di sisi-- sementara udin Ribuan duri menusuk-menusuk ususnya Sejak kolonial memerintah, hingga revolusi sampai reformasi, lalu Di era seribu lima ratus enam puluh sarjana hadir tiap tahun Tekhnologi serupa kaligrafi di marmer tuan li jai, dan Politik bagai batu kali sebagai roda penggerak kendaraan 2020

Puisi Muhammad Alfariezie

Bersamamu Seperti metafor yang membuat puisi senantiasa bagaikan dewa, kekasihku Ketika kau tulis rindu di dasar perasaanku             Burung-burung merdu bersahutan,              Dedaun berayun, dan embun              Merah kekuning-kuningan bagai nurani bayi berselimut mega, juitaku Jika kuhitung, maka Temanku lebih dari lima ribu enam ratus tujuh puluh sembilan, tapi Jika di antara mereka, sungguh aku Tidak seramai dan sebahagia ketika berdua denganmu 2020