Langsung ke konten utama

KRISIS

KRISIS

Untuk yang berdiri di sisi tebing curam, untuk yang berdiri di tengah jalan, untuk yang berdiri dalam rumah dan untuk yang selalu bermimpi; dentum meriam akan masuk ke pendengaran kita, bising gergaji mesin akan terdengar, darah dan nanah akan terlihat maka dari itu akan lebih indah jika sama-sama mendaki. Kita sama-sama merasakan lelah yang sangat, sama-sama menikmati udara segar, sama-sama menikmati nasi di atas daun pisang. Demekian bengis wajah kita bila saya dan adik saya harus menggenggam parang dan dengan hati berdebar keringat bercucuran dan wajah menegang saling menatap. Bagaikan orang menenggak vodka saudara-saudaraku, apakah ada yang indah kecuali hanya jalan kita yang sempoyongan, kepala yang terasa berat, dan penyakit yang menjadi selubung impian kita hingga tak lagi kita dapat merakit pesawat, kapal, dan industri yang menguntungkan bagi Indonesia.

Di sini dan di sana kita tidak pernah lagi merasakan kehangatan padahal matahari selalu meninggi. Ya.. benar bahwasanya tubuh kita hangat tapi hati, ah apalagi ketika melihat berita dalam televisi. Melihat anak SMA yang mustinya belajar dengan baik, melihat anak perempuan membentuk komunal tapi di dalam tubuh komunal itu terlihat anak perawan di perkosa oleh sesama jenis, disiksa, dirajam hak-hak sewajarnya. Alangkah bengis negeri ini. Kian dewasa kian merana. Tawuran antar pendukung tim sepak bola sungguh memilukan. Dewasa ini negaraku, kenyamananku porakporanda. Saya bertanya-tanya dalam hati ketika melihat berita tentang perang. Apakah negaraku sedang darurat perang hingga setiap saya menonton tv selalu tentang perkelahian. Entah itu dari para remaja, dewasa bahkan hingga para tokoh.

Dalam kiat-kiat revolusi ada juga yang musti dipikirkan agar apa yang kita impikan tidak terjatuh hingga tidak merepotkan. Dalam kiat-kiat revolusi tentu banyak penghasut dan hasutannya tentu untuk menjegal langkah kita. Dengan apa saja dan dengan siapa saja para pengahasut itu akan datang dan dengan murah hati, murah senyum memberi kita senjata sebagai simbol persaudaraan. Tapi penghasut itulah yang akan memberondong kejujuran dalam hati kita hingga kita lupa bahwa saudara-saudara kita banyak yang kelaparan, kita lupa banyak saudara-saudara kita terlena dan lumpuh dalam ketakutan maka dari itu tinggalkan penghasut itu agar mimpi revolusi yang jujur, bersih dan sederhana tak menjadi mimpi yang jika terealisasi akan menjadi platina karatan.

Membicarakan hal ini tentu kita wajib mengingat masa silam dimana negara kita dikutuk oleh keserakahan, oleh kebodohan. Di tahun itu, di era itu kita melihat saudara-saudara kita di bunuh. Dalam hal ini tidak ada kebenaran. Dalam hal ini tidak ada kebaikan. Orang-orang tak bersalah terbunuh. Bayi-bayi mungil yang tak berdosa menjadi bayi kutukan dan itu kita sendiri yang mengutuk padahal tidak saudara, tidak ada bayi yang dilahirkan mengandung dosa turunan. Alangkah sedih sang bunda melihat bayinya yang lahir malah dijadikan bayi olok-olok. Bagaimanakah jika itu menimpa keluarga kita, bagaimanakah jika itu terjadi pada ibu kita?

Seorang teman pernah berkata padaku. “hey, tahukah kau bahwa ia keturunan dajjal,” katanya. Sungguh itu perkataan menyayat jantung karena tidak ada tanda-tanda dajjal pada orang yang ia tuduhkan, padahal selalu setiap jumat ia (tertuduh) duduk bersebelahan denganku. Kami bersalaman dan betapa hangat, lembut dan kutahu hatinya penuh dengan kejernihan menggenggam dan berkata padaku. Inilah yang kunamai ketulusan. Ia (tertuduh) tak pernah membicarakan hal-hal buruk tentang siapa saja padaku bahkan yang diucapnya selalu bangsa dan negara. Ia selalu bertanya padaku bagaimana caranya membentuk komunal demi kelangsungan hidup yang sejahtera di tempat kami.

Memang kedengkian dan kebodohan jika bercampur dan diaduk akan menghasilkan limbah pikiran. Apalagi jika kita tidak pernah membaca, tidak pernah menonton berita, yang kita lihat hanya sawang yang bersarang dalam kamar kita sendiri maka yang terjadi ya seperti itu. Penghasutan yang membabi buta, padahal apa yang ia (penuduh) katakan tidaklah mengandung kebenaran kecuali hanya kebengisan semata. Iri dengki karena seseorang itu lebih sukses daripadanya. Wajar apabila orang yang tekun, taat terhadap agama, setiap hari ia bangun subuh dan ketika matahari terbit ia mulai menanam padi— wajar jika orang seperti itu mendapat panen yang luar biasa melimpah sedangkan kita yang kerjanya bermalas-malasan, menertawakan orang lain, meremehkan dan selalu menghardik, apa yang kita dapatkan kecuali hanya rasa cemburu yang memborok di batin kita? Hal inilah yang terjadi saat ini. Kecemburuan yang memborok telah memiliki mahligai istimewa bagaikan surga bagi kebencian. Akibat dari itu semua adalah kemerosotan moral, kemerosotan pola pikir hingga perkembangan nuklir yang diharapkan mampu memasok tenaga listrik bagi negara kita sulit direalisasikan karena itu, kedengkian menghambat langkah orang-orang pintar. Bergerak dikit dijegal, dicekal. Bicara sedikit dianggap kebohongan padahal sungguh ia (penuduh) hanya dirasuki rasa dengki dan kebencian. Ada yang lebih mencenangkan yaitu jika mereka (penuduh) diberi kesempatan untuk membangun nuklir yang berlandaskan tenaga listrik justru tak bisa berbuat apa-apa, akhirnya pembangunan itu gagal karena tidak ada rasa tenggang rasa. Itulah, apabila kepercayaan sudah tidak lagi kita miliki jangankan membangun nuklir, membangun pondasi rumah pun tidak akan selesai karena lebih dulu pasti bertengkar, berlumuran darah akibatnya sumberdaya hilang rumah hanya impian.

Bahkan Allah Swt berfirman bahwa di dunia ini ada orang yang berpikir dan ada pula yang tidak. Dan itu benar sekali, saudara-saudara. Mereka-mereka yang tidak berpikir itu wajahnya ketamakan, hidungnya aroma pekat, mulutnya lebar bahkan mobil dan motorpun mampu mereka lahap.

Oleh karena itu mari kita berpikir sejenak dan belajar untuk dikemudian hari berlayar dengan jung yang kita rakit bersama-sama. Kita belajar menyebarangi pulau untuk menemukan pulau baru yang akan kita manfaatkan tidak sebagai tempat tinggal baru melainkan sumberdaya baru hingga anak cucu kita mampu untuk bisa terus menjaga peradaban yang telah kita bangun ini. Kita musti berlayar, tidak mungkin kita menatap tanah hampa yang telah habis karena terus kita keruk. Kita harus mencari sumber mineral baru, kita musti mencari tanaman baru tapi bukan untuk kita keruk sendiri, bukan untuk keluarga kita sendiri melainkan untuk kemaslahatan umat, untuk keberlangsungan anak cucu kita nanti.

Sudah terlalu jauh kita melangkah dalam keterpurukan. Bangunan-bangunan telah banyak kita lihat rata dengan tanah. Jenazah-jenazah tanpa nama, kuburan masal telah banyak kita lihat. Dan mereka menghantui kita. Mereka selalu berkata pada kita agar kembali pada empunya Revolusi. Ya mereka menyuruh kita kembali pada sumber amanah revolusi agar apa, agar tidak lagi terdengar kata-kata pertentangan. Kemusyawaratan perwakilan, ayo kembalilah pada sumber itu. kembalilah pada ketuhanan yang maha esa. Percayakan persatuan dan kesejahteraan pada mereka-mereka yang terpilih. Mereka terpilih bukanlah karena hoki melainkan karena bertanding dalam medan laga yang dibenarkan yaitu mereka telah bertarung dalam ring bagaikan seorang petinju yang menanggung takdir suku.

Untuk apa memasalahkan hal yang tidak ada kaitannya dalam kehidupan kita. Kita hidup bukankah untuk menyembah sumber ilmu dari inti bumi? Maka berbaik sangkalah pada semua yang telah diwakilkan. Akui saja kalau memang kita tak berilmu, akui saja kalau kita malas membaca kitab apalagi buku. Akui saja agar negara ini mampu berjalan di atas permadani merah di negara lain.

Sumber ilmu dari inti bumi tidak pernah salah. Kita lah yang telah banyak menyalahi aturan. Aturan negara kita langgar. Bapak-bapak tak berbaju tak berhelm menerobos lampu merah lalu setelah tertilang dengan wajah geram jemarinya menunjuk petugas kepolisian. Ibu-ibu hamil berbikini dalam mobilnya menumbur anak sekolah lalu kabur. Lelaki dan perempuan yang mabuk-mabukan dalam diskotik lalu setelah pulang menumbur tukang becak, pedagang, pejalan kaki dan yang lebih parah setelah mobilnya digeledah ditemui puluhan pil ekstasi, paket sabu-sabu, dua botol alkohol, satu paket ganja. Ya itukah?

Kalimat mutakhir simbol kesejatian dan langgeng dalam bersosial yaitu Bhineka Tunggal Ika menjadi kalimat yang tak lagi diminati dalam hidup berbangsa dan bertanah air di lingkungan ini. Anak-anak pramuka diracun untuk bilang Ganti Pemimpin. Anak-anak sekolah dijejali opini-opini guru dari pikirannya yang tidak memiliki kendali. Sayang sungguh disayangkan—jika saja Bhineka Tunggal Ika bisa kita terjemah dalam artian yang panjang yang tak hanya tiga rangkai kata maka kalimat sakti itu akan menjadi bius atau vaksin bagi kecerobohan peneliti.

Landasan utama kita adalah menjadi manusia yang wajib lapor yaitu manusia yang taat dalam menghadapi cobaan kehidupan sosial. Jika yang lain bersandiwara atas nama keadialan dan ternyata sandiwaranya mengalami gangguan mental wajib kita laporkan agar tidak terjadi kericuhan yang disebabkan fallasi itu. Guru-guru musti belajar sastra atau paling tidak membaca sastra. Karena Sumpah pemuda itu adalah sastra, Mohammad Yamin adalah penyair. Maka dari itu guru-guru kita wajib belajar sastra. Tidak. Tidak ada toleransi karena sastra mengandung banyak falsafah kehidupan.

Dengan mempelajari sastra kita akan belajar agama, matematika, kewarganegaraan hingga dengan sendirinya fallasi-fallasi itu, sedikit-demi sedikit lama-lama akan mengalami yang namanya peningkatan. Kebinekaan akan matang kembali dalam pemikiran guru-guru hingga mereka mampu membimbing anak murid ke jalan yang Ia ridhoi.

Buang jauh-jauh pikiran politik pada aparat penegak hukum, pasukan pengajar, dokter, sastrawan dan ulama, karena mereka harus menjadi simbol yang relevan dalam mengawal kebhinekaan. apalagi mengingat praktik-praktik globalisasi atau modernisasi di sini sangat tidak terkontrol. Perkembangan internet membuat anak-anak di bawah umur jauh lebih pintar dalam menerima informasi dibanding orang-orang tua. Ini salah satu penyebab para orang tua termasuk guru-guru kewalahan dalam membimbing anak didiknya.

Contoh yang paling mutakhir dengan adanya internet. Anak-anak SMA mudah bertengkar. Dalam kasus status di facebook kita bisa melihat betapa mengerikan. Hanya karena itu sekolah A dan B bertengkar. Bukan hanya itu, hanya dengan pesan singkat melalui Waatsup mereka dengan mudah akan menentukan di mana akan memulai perkelahian.

Salah satu perjuangan terberat bagi kita kaum terpelajar adalah mendorong adik-adik kita ke jalan yang Ia ridhoi maka mari kita manfaatkan Internet dan media sosial. Kita manfaatkan sebagi alat kampanye anti kekerasan, anti kemungkaran dan anti kebobrokan. Kita buat fitur-fitur yang mengajarkan kebhinekaan tapi tidak pula menyalahi aturan agama dan kebangsaan.

Bung Karno, Bung Hatta hingga tokoh cendekiawan kita yaitu Ki Hajjar Dewantara memulai debut di dunia pendidikan dengan metode pembelajaran yang sederhana yaitu menghindari anak-anak agar tidak stres ketika belajar. Maka mari kita contoh mereka-mereka yang telah berhasil menghantarkan kita hingga menuju kemerdekaan yang mutlak, yang saat ini kita rasakan. Namun, karena globalisasi dan modernisasi juga politik tanah air— nyaris melumpuhkan warisan itu maka tugas kitalah untuk kembali belajar ke sumber ilmu. Setelah mendapat faedah dari pembelajaran itu barulah mulai kembali pembelajaran moral dan aqidah. Banyak orang pintar tapi tak bermoral. Banyak orang bermoral tapi tak pintar dan itu ada pada ini negeri hingga bukan hanya kebhinekaan tapi yang pintar membodohi yang kurang pintar hingga kebhinekaan yang utuh tak kita dapati.

Kebhinekaan bukan hanya sifat tenggang rasa. Tapi rasa memiliki. Rasa memiliki keadilan, kesejahteraan, keberanian mutlah harus masuk dalam rumusan Bhineka Tunggal Ika. Negara yang ini harus kita bangun menggunakan kata-kata sakti itu, yaitu Bhineka Tunggal Ika tapi tidak sekedar persatuan dan kesatuan namun persatuan dan kesatuan yang memiliki takaran daya guna yaitu kecerdasan, kemandirian, kevokalan dalam melihat kebobrokan yang ada, dengan begitu negara ini tidak hanya berkembang tapi melesat dan maju di garda paling depan dalam gerbang kemerdekaan dunia.

Tidak hanya itu saudara-saudara. Bhineka Tunggal Ika harus menjadi konsep TOP di dalam pertemuan-pertemuan International. Untuk melaraskan cita-cita itu tentu ini adalah tugas berat yang akan kita hadapi. Maka belajarlah dan jangan lupa kembali pada sumber ilmu dari inti Bumi agar dalam menghadapi kegagalan kita tidak berteriak dan mengatakan kata-kata yang kuanggap keputusasaan.

2018




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dampak Keluarga Besar Flu

Dampak Keluarga Besar Flu Hari ini di kota kita tercinta yang bernama bandar lampung— masih saja dihantui wabah virus yang berasal dari kota wuhan, hubei, tiongkok. Kelompok virus ini dapat menyebabkan penyakit pada burung dan mamalia termasuk manusia. Jika kalian belum mengenal ciri-cirinya— ada beberapa perbedaan pada hewan dan manusia. Contoh pada sapi dan babi ialah menyebabkan diara sedangkan pada unggas yaitu infeksi saluran pernapasan atas. Sedangkan pada manusia yakni berpotensi mengganggu sistem pernapasan sehingga timbul gejala pilek, batuk, demam, hingga kematian.   Tapi tahukah kalian minak muakhi seunyinni— Coronaviridae dan ordo Nidovirales ini telah memberi dampak negatif yang luar biasa. Hal ini dikarenakan tidak sekedar kesehatan tapi juga ekonomi.   Mulai dari pedagang makanan, pekerja seni hingga penyedia jasa pun merakan betul bagaimana magis nafas buruk dari kehadirannya. Lantas— Bagaimanakah kesaksian dari salah satu korban dari keganasan serangan

Puisi Muhammad Alfariezie

Kabar Buruk Angin Tenggara Jernih air sungai mengalir bagai ayun hijau muda dedaun, Seperti pucuk embun merah kekuning-kuningan Ikan-ikan riang berenang, buah-buah tumbuh di sisi-- sementara udin Ribuan duri menusuk-menusuk ususnya Sejak kolonial memerintah, hingga revolusi sampai reformasi, lalu Di era seribu lima ratus enam puluh sarjana hadir tiap tahun Tekhnologi serupa kaligrafi di marmer tuan li jai, dan Politik bagai batu kali sebagai roda penggerak kendaraan 2020

Puisi Muhammad Alfariezie

Bersamamu Seperti metafor yang membuat puisi senantiasa bagaikan dewa, kekasihku Ketika kau tulis rindu di dasar perasaanku             Burung-burung merdu bersahutan,              Dedaun berayun, dan embun              Merah kekuning-kuningan bagai nurani bayi berselimut mega, juitaku Jika kuhitung, maka Temanku lebih dari lima ribu enam ratus tujuh puluh sembilan, tapi Jika di antara mereka, sungguh aku Tidak seramai dan sebahagia ketika berdua denganmu 2020